
Share 2 Care , Jakarta - Dr. Gilbert Simanjuntak mengecam cara memimpin Menteri Kesehatan. Budi Gunadi Gilbert mencatat bahwa Budi sering kali menerapkan strategi berbasis kekuatan saat membuat keputusan. Hal itu kemudian menimbulkan sejumlah kontroversial di bidang kesehatan dan ilmu kedokteran, terutama akhir-akhir ini.
"Gelisahnya tenaga medis di Indonesia saat ini merupakan akibat langsung dari ketidaknyamanan yang timbul karena tindakan unilateral oleh Menteri Kesehatan," ungkap bekas anggota DPRD dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut melalui pernyataan formal pada hari Senin, tanggal 19 Mei 2025.
Dia juga mengomentari bahwa meskipun berperan sebagai Menteri Kesehatan, Budi ternyata kurang memahami sifat para petugas kesehatan. "Secara berkala, Menkes membuat pernyataan yang seolah menjauhkan diri dari kelompok tenaga medis," ungkap wakil rakyat periode 2019-2024 tersebut.
Gilbert mengatakan bahwa Budi menciptakan keributan berlebihan dan seolah-olohnya tak paham dengan situasinya di lapangan. Sebenarnya, lanjut Gilbert, para petugas kesehatan sudah memberikan pengabdian mereka dalam merawat pasien selama pandemi Covid-19 beserta konsekuensinya.
Gilbert mengusulkan kepada Budi untuk fokus pada pekerjaan sambil memberi prioritas penanganan masalah kesehatan di wilayah tersebut. Meskipun tidak ahli dalam bidang kesehatan, Gilbert mendorong Budi untuk mengatasi kelemahan ini melalui performa kerjanya yang semakin baik.
Dia pun mendesak pemerintah agar meningkatkan peran para profesional kesehatan dalam menyusun keputusan penting. "Lebih baik melibatkan pakar epidemiologi dan ilmu ekonomi kesehatan, bukannya hanya sekretaris jenderal yang berasal dari Kementerian Keuangan." Sebab, seperti diungkap oleh Gilbert, informasi terkait kesehatan yang ada saat ini belum cukup memadai.
Selain itu, Gilbert juga mengkritik sikap pemerintah yang telah acuh terhadap pendapat Ikatan Dokter Indonesia yang dinilai bertentangan. Menurut Gilbert, hal tersebut seharusnya tidak menjadi masalah yang dibesar-besarkan.
Belum lama ini, 158 profesor dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) telah menyampaikan surat kePresiden Prabowo Subianto tentang kondisi kurikulum pendidikan medis serta pelayanan kesehatan yang dianggap sangat memprihatinkan. Surat tersebut menekankan pada hilangnya otonomi sindikat dokter pasca adanya modifikasi dalam pengelolaan sindikat yang sekarang dikelola oleh Departemen Kesehatan.
Para guru besar Fakultas Kedokteran UI menulis surat kepada Prabowo pada hari Jumat, 16 Mei 2025, mengungkapkan keprihatinan mereka sebagai tenaga medis dan akademisi tentang masalah-masalah krusial dalam sistem pelayanan kesehatan nasional ke depannya.
Poin penting lainnya yang menarik perhatian mereka adalah adanya pemecahan hubungan di antara rumah sakit pendidikan dengan fakultas kedokteran. Di samping itu, para Professor di FKUI mencatat fenomena unik dimana beberapa staf medis juga dosen mengalami pindah posisi secara tiba-tiba.
Guru Besar FKUI menilai bahwa sejumlah kebijakan tersebut dapat menghambat kelangsungan pendidikan dokter spesialis serta subspesialis.
Guru Besar FKUI Theddeus O.H. Prasetyono mengingatkan untuk berhenti menjelek-jelekan profesisi dokter. Dia merasa bahwa tindakan tersebut dapat menciptakan keraguan dan turunkan kepercayaan publik kepada para dokter serta staf medis dalam negeri.
"Dan hal ini bisa menjadi manfaat bagi layanan kesehatan milik negara lain," ujarnya saat berada di gedung FKUI, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2025.
Deputi Dekan FKUI Ari Fahrial Syam menegaskan bahwa persepsi buruk tentang tenaga medis seringkali dikaitkan dengan berbagai insiden bullying dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di universitas. Ia meratapi bagaimana cerita-cerita negatif tersebut tetap dipertahankan walaupun kejadian tersebut telah berlalu cukup lama.
Novali Panji Nugroho dan Salsabilla Azzahra Octavia menyumbang untuk penulisannya Artikel ini
Komentar
Posting Komentar